Dedi E Kusmayadi Soerialaga
Jika vonis mati dari hakim hitam yang di era Morsi dipecat dan di era kudeta malah mengeluarkan vonis hukuman mati terhadap 529, pemimpin utama dan pengurus inti Ikhwanul Muslimin, dunia diam. Lantas mengapa saat Erdogan baru sekedar "memperingatkan" Twitter, dunia serentak memprotes dan menyebut Erdogan sebagai diktator. Bahkan Obama mengecam penutupan Twitter dan menganggapnya demokrasi di Turki terancam.
Entah apa yang dipikirkan Barat. Namun saya sangat setuju dengan sikap Recep Tayyip Erdogan. Sikap tegas, tentu beda dengan diktatorisme. Recep Tayyip Erdogan telah beberapa kali meminta pihak Tiwtter dua hal saja:
1. Membuka perwakilan di Turki dan Twitter menolak.
2. Memberi akses pada setiap
"ocehan" yang menjurus pada fitnah dan memprovokasi suasana demokrasi Turki, untuk dipraperadilankan.
Turki kini tengah berada di puncak penguasaan oleh
Partai Islam AKP. Bahkan Perdana menter Turki,
Recep Tayyip Erdogan, mengecam dijatuhkannya vonis hukuman mati kepada 529 orang pendukung Presiden Mursi di Mesir. Erdogan sangat heran, mengapa dunia diam dan membiarkan aksi-aksi brutal pemerintah kudeta dan mencederai nalar sehat demokrasi, apalagi Syariat Islam.
Dalam sebuah kampanye terbuka yang dihadiri ratusan ribu pendukungnya, Erdogan mengatakan, “Kepada pihak-pihak yang menuduhku diktator, lihatlah apa yang saat ini terjadi di Mesir. Penguasa di sana telah menjatuhkan vonis hukuman mati kepada 529 orang. Hukuman mati tidak sesuai dengan undang-undang di Eropa, tapi kenapa negara-negara Eropa diam seribu bahasa?”
Turki akan menghadapi pemilu daerah pada 30 Maret mendatang. Menghadapi pemilu yang sangat penting bagi demokratisasi di Turki ini, partai penguasa di Turki banyak dituduh bersikap tidak demokratis. Terutama dalam kasus terakhir terkait dengan pemblokiran twitter yang menuai kecaman keras dari negara-negara Eropa. Erdogan mempertanyakan kenapa negara-negara Eropa itu diam saja ketika ada hukuman mati massal di Mesir?
Sekali lagi,
PKS dan Parpol Islam di Indonesia, saatnya merebut kekuasaan. Jangan biarkan setiap jengkal negeri Indonesia dikotori dengan maksiat dan kejahatan yang dilakukan terang-terangan. Jika bukan kita, siapa lagi? Biarkan yang menyerukan
Golput dan
berniat Golput sadar, bahwa kali ini kesempatan terbuka! 5 tahun lagi, belum tentu bukan. (Nandang BUrhanudin)