Al-Mawardi rahimahullah dalam kitab al-Ahkâm ash-Shulthaniyah menyebutkan syarat-syarat seorang pemimpin, di antaranya:
1. Adil dengan ketentuan-ketentuannya.
2. Ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum.
3. Sehat jasmani, berupa pendengaran, penglihatan dan lisan, agar ia dapat langsung menangani tugas kepemimpinan.
4. Normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan bereaksi.
5. Bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan negara.
6. Keberanian, yang bisa digunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh.
Nilai lebih dalam hal kebijakan, kesabaran, keberanian, sehat jasmani
dan rohani serta kecerdikan merupakan kriteria yang mutlak harus
dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa memiliki kriteria itu, seorang
pemimpin akan kesulitan dalam mengatur dan mengurus negara dan
rakyatnya.
Muhammad al-Amin asy-Syinqithi menjelaskan, "Pemimpin haruslah seseorang
yang mampu menjadi Qadhi (hakim) bagi rakyatnya (kaum muslimin).
Haruslah seorang alim mujtahid yang tidak perlu lagi meminta fatwa
kepada orang lain dalam memecahkan kasus-kasus yang berkembang di tengah
masyarakatnya!"[1]
Ibnul-Muqaffa' dalam kitab al-Adabul-Kabir wa Adabush-Shaghir
menyebutkan pilar-pilar penting yang harus diketahui seorang pemimpin:
"Tanggung jawab kepemimpinan merupakan sebuah bala` yang besar. Seorang
pemimpin harus memiliki empat kriteria yang merupakan pilar dan rukun
kepemimpinan. Di atas keempat kriteria inilah sebuah kepemimpinan akan
tegak, (yaitu): tepat dalam memilih, keberanian dalam bertindak,
pengawasan yang ketat, dan keberanian dalam menjalankan hukum".
Lebih lanjut ia mengatakan: "Pemimpin tidak akan bisa berjalan tanpa
menteri dan para pembantu. Dan para menteri tidak akan bermanfaat tanpa
kasih sayang dan nasihat. Dan tidak ada kasih sayang tanpa akal yang
bijaksana dan kehormatan diri".
Dia menambahkan: "Para pemimipin hendaklah selalu mengawasi para
bawahannya dan menanyakan keadaan mereka. Sehingga keadaan bawahan tidak
ada yang tersamar baginya, yang baik maupun yang buruk. Setelah itu,
janganlah ia membiarkan pegawai yang baik tanpa memberikan balasan, dan
janganlah membiarkan pegawai yang nakal dan yang lemah tanpa memberikan
hukuman ataupun tindakan atas kenakalan dan kelemahannya itu. Jika
dibiarkan, maka pegawai yang baik akan bermalas-malasan dan pegawai yang
nakal akan semakin berani. Jika demikian, kacaulah urusan dan rusaklah
pekerjaan".
Ath-Thurthusyi dalam Sirâjul-Mulûk mengatakan: "Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ
"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan
sebagaian yang lain, pasti rusaklah bumi ini" [al-Baqarah/2:251].
Yakni, seandainya Allah tidak menegakkan pemimpin di muka bumi untuk
menolak kesemena-menaan yang kuat terhadap yang lemah dan membela orang
yang dizhalimi atas yang menzhalimi, niscaya hancurlah orang-orang yang
lemah. Manusia akan saling memangsa. Segala urusan menjadi tidak akan
teratur, dan hiduppun tidak akan tenang. Rusaklah kehidupan di atas muka
bumi. Kemudian Allah menurunkan karunia kepada umat manusia dengan
menegakkan kepemimpinan. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan, tetapi
Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. -
al-Baqarah/2 ayat 251- yaitu dengan mengadakan pemerintahan di muka
bumi, sehingga kehidupan manusia menjadi aman.
Karunia Allah Azza wa Jalla atas orang yang zhalim, ialah dengan menahan
tangannya dari perbuatan zhaliman. Sedangkan karunia-Nya atas orang
yang dizhalimi, ialah dengan memberikan keamanan dan tertahannya tangan
orang yang zhalim terhadapnya.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu telah meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الإِمَامُ العَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يَفْطُرَ وَدَعْوَةُ المَظْلُوْمِ.
"Tiga doa yang tidak tertolak: Doa pemimpin yang adil, orang yang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang dizhalimi" [2].
Diriwayatkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِِ اللهِ عَزَّ وَ
جَلَّ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا
فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ
طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ حُسْنٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ
اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ
شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا
فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
"Tujuh orang yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan
selain naungan-Nya: (1) Seorang imam yang adil (2) Seorang pemuda yang
menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Allah. (3) Seorang
yang hatinya selalu terkait dengan masjid. (4) Dua orang yang saling
mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena
Allah. (6) Lelaki yang diajak seorang wanita yang cantik dan terpandang
untuk berzina lantas ia berkata: "Sesungguhnya aku takut kepada Allah".
(5) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (6) Seorang yang
berdzikir kepada Allah seorang diri hingga menetes air matanya." [3]
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata,"Amal seorang imam yang adil
terhadap rakyatnya sehari, lebih utama daripada ibadah seorang ahli
ibadah di tengah keluarganya selama seratus atau lima puluh tahun."
Qeis bin Sa'ad berkata,"Sehari bagi imam yang adil, lebih baik daripada ibadah seseorang di rumahnya selama enam puluh tahun."
Masruq berkata,"Andaikata aku memutuskan hukum dengan hak sehari. maka
itu lebih aku sukai daripada aku berperang setahun fi sabilillah."
Diriwayatkan bahwa Sa'ad bin Ibrâhîm, Abu Salamah bin Abdurrahmân,
Muhammad bin Mush'ab bin Syurahabil dan Muhammad bin Shafwan berkata
kepada Sa'id bin Sulaiman bin Zaid bin Tsabit: "Menetapkan hukum secara
hak satu hari, lebih utama di sisi Allah, daripada shalatmu sepanjang
umur".
Kebenaran perkataan ini akan nampak jelas, jika melihat kebaikan yang didapatkan rakyat karena kebaikan pemimpinnya.
Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata,"Apabila seorang pemimpin
berkeinginan melakukan kecurangan atau telah melakukannya, maka Allah
akan menimpakan kekurangan pada rakyatnya di pasar, di sawah, pada hewan
ternak dan pada segala sesuatu. Dan apabila seorang pemimpin
berkeinginan melakukan kebaikan dan keadilan atau telah melakukannya
niscaya Allah akan menurunkan berkah pada penduduknya."
Umar bin 'Abdul-Aziz rahimahullah berkata,"Masyarakat umum bisa binasa
karena ulah orang-orang (kalangan) khusus (para pemimpin). Sementara
kalangan khusus tidaklah binasa karena ulah masyarakat. Kalangan khusus
itu adalah para pemimpin. Berkaitan dengan makna inilah Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zhalim saja di antara kamu" [al-Anfâl/8:25].
Al-Walid bin Hisyam berkata,"Sesungguhnya rakyat akan rusak karena
rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin."
Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja'far al-Manshur: "Aku tahu, ada
seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat akan baik; dan jika ia
rusak, maka rusaklah umat." Abu Ja'far al-Manshur (ia adalah pemimpin)
bertanya: "Siapa dia?" Sufyan menjawab: "Engkau!"
Pemimpin yang paling baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama
rakyatnya. Rakyat mendapat bagian keadilan yang sama, tidak ada yang
diistimewakan. Sehingga pihak yang merasa kuat tidak memiliki keinginan
melakukan kezhalimannya. Adapun pihak yang lemah tidak merasa putus asa
mendapatkan keadilan. Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Pemimpin
yang baik, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa aman dan
orang-orang yang bersalah merasa takut. Pemimpin yang buruk, ialah
pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa takut dan orang-orang yang
bersalah merasa aman."
Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata kepada al-Mughirah
ketika mengangkatnya menjadi gubernur Kufah: "Hai Mughirah, hendaklah
orang-orang baik merasa aman denganmu dan orang-orang jahat merasa takut
terhadapmu".
Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Seburuk-buruk harta, ialah
yang tidak diinfakkan. Seburuk-buruk teman, ialah yang lari ketika
dibutuhkan. Seburuk-buruk pemimpin, ialah pemimpin yang membuat
orang-orang baik takut. Seburuk-buruk negeri, ialah negeri yang tidak
ada kemakmuran dan keamanan. Sebaik-baik pemimpin, ialah pemimpin yang
seperti burung elang yang dikelilingi bangkai, bukan pemimpin yang
seperti bangkai yang dikelilingi oleh burung elang.
Oleh karena itu dikatakan, pemimpin yang ditakuti oleh rakyat lebih baik daripada pemimpin yang takut kepada rakyat.
Seorang pemimpin, hendaklah juga memiliki sifat pemaaf. Maaf dari orang
yang kuat adalah fadhilah. Sifat pemaaf yang dimiliki pemimpin, ibarat
mahkota bagi seorang raja. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengatakan:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
"Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh". [al-A'râf/7:199].
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menganjurkan memberi maaf:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan".
[Ali 'Imrân/3:134].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
"Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf"
[asy-Syûra/42 : 37], kecuali bila yang dilanggar itu adalah hukum Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
'Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata,"Aku tidak pernah melihat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam membalas dendam terhadap kezhaliman yang
dilakukan terhadap beliau. Hanya saja, bila sesuatu dari hukum Allah
dilanggar, maka tidak ada satupun yang dapat menghadang kemarahan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam."
Ketika Uyainah bin Hishn masuk menemui Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Hai Ibnul-Khaththab, demi Allah, engkau
tidak memberi kami secara cukup dan engkau tidak menghukum di antara
kami secara adil!" Marahlah Umar Radhiyallahu anhu dan beliau ingin
memukulnya. Salah seorang saudaranya berkata: "Hai Amirul- Mukminin,
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
"Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh" [al-A'raaf 7/199],
dan sesungguhnya dia ini termasuk orang bodoh.
Demi Allah, ketika ia mendengar ayat itu dibacakan, Umar tidak jadi
memukulnya. Karena Umar seorang yang sangat komitmen mengikuti
Kitabullah.
Seorang pemimpin hendaklah memiliki sifat kasih sayang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
"Sayangilah orang-orang di bumi, niscaya Allah yang ada di langit akan menyayangimu". [4]
Orang yang paling berhak menjadi pemimpin ialah yang paling kasih lagi
paling penyayang. Sebaik-baik pemimpin ialah yang bisa menjadi teladan
dan pemberi hidayah bagi rakyatnya, dan seburuk-buruk pemimpin ialah
pemimpin yang menyesatkan. Dahulu dikatakan, bahwa rakyat berada di
bawah agama pemimpinnya. Jika bagus agama pemimpinnya, maka bagus
pulalah agama rakyatnya. Jika kacau agama pemimpinnya, maka kacau
pulalah agama rakyatnya.
Dalam hadits Tsauban Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي أَئِمَّةً مُضِلِّينَ
"Sesungguhnya, yang paling aku khawatirkan atas dirimu ialah imam-imam yang menyesatkan". [5]
Di dalam kitab ash-Shahîh disebutkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ
الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى
إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
"Sesungguhnya, Allah tidak mengangkat ilmu sekaligus dari umat manusia,
namun Allah mengangkatnya dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila
tidak lagi tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat orang-orang
jahil sebagai pemimpin. Ketika ditanya, mereka mengeluarkan fatwa tanpa
dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan" [6].
Imam ath-Thurthûsyi rahimahullah berkata,"Resapilah hadits ini
baik-baik. Sesungguhnya, musibah menimpa manusia bukan karena ulama,
bila para ulama telah wafat lalu orang-orang jahil mengeluarkan fatwa
atas dasar kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia."
Ia melanjutkan perkataannya: "Umar Ibnul-Khaththab Radhiyallahu 'anhu
telah menerangkan maksud tersebut. Dia berkata,'Seorang yang amanat
tidak akan berkhianat. Hanya saja pengkhianat diberi amanat, lantas
wajar saja kalau ia berkhianat'."
Wallahu a'lam bish-Shawab.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Adhwâ'ul-Bayân, I/67.
[2]. HR. at Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 1432
[3]. HR. Bukhari dan Muslim
[4]. HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 1924
[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, ia berkata: Hadits ini hasan shahîh
[6]. HR. Bukhari