Bismillahirrahmaanirrahiim.
Selamat Pagi Sahabat PKS Sumedang Utara,
Ini adalah kajian sederhana, tidak rumit, tapi penting disampaikan.
Singkat kata, di masyarakat kita sering mendengar perkataan seputar
Shalawat Nabi yang disampaikan para khatib, penceramah, dai, muballigh,
moderator, MC, atau para penulis lewat radio, tulisan atau televisi. Dalam
ucapan-ucapan Shalawat ini, kelihatannya seperti benar, padahal sepertinya ada yang
keliru, sehingga perlu dikoreksi.
Shalawat Nabi sendiri di masyarakat kita rata-rata disampaikan dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Di antara bacaan itu ada yang sudah
benar, tapi masih banyak yang keliru. Maka kita berbagi nasehat disini,
untuk memperbaiki kekeliruan-kekeliruan yang ada, insya Allah.
Berikut ini beberapa bentuk "kesalahan makna" yang sering terjadi ketika membaca Shalawat Nabi:
[1]. Ada sebagian orang yang berkata: “Shalawat dan salam kita panjatkan kepada Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
Koreksi: Kata-kata “kita panjatkan kepada” adalah kesalahan, sebab memanjatkan doa itu untuk Allah Subahanu Wa Ta’ala,
bukan untuk selain-Nya. Kita tidak boleh berdoa kepada selain Allah,
hatta itu kepada Nabi, Malaikat, maupun ulama besar. (Lihat Surat Al
Mu’minuun: 117).
[2]. Ada sebagian yang lain berkata: “Shalawat dan salam kita haturkan untuk Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
Koreksi: Kata-kata “kita haturkan untuk” atau “kita berikan untuk”,
ini juga salah. Yang berhak memberi shalawat (sentosa) dan salam
(selamat) kepada seseorang adalah Allah, bukan kita. Apalagi untuk
memberi shalawat dan salam kepada Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam.
Kita tak punya kuasa apapun untuk memberi shalawat dan salam kepada
orang lain, bahkan kepada diri kita sendiri. Lalu bagaimana bisa kita
memberi shalawat dan salam untuk Rasulullah yang sudah wafat?
[3]. Ada lagi yang sering berkata -bahkan sangat sering- seperti ini: “Shalawat dan salam untuk junjungan alam, Nabi Besar Muhammad Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
Koreksi: Kata-kata untuk “junjungan alam” ini keliru. Coba, kalau
Anda ditanya, siapakah junjungan alam itu? Apakah Nabi Muhammad adalah
junjungan alam? Bukan, beliau adalah hamba Allah dan Nabi-Nya. Junjungan
alam adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalilnya adalah ayat dalam Surat Al Fatihah: “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin”
(segala puji bagi Allah selalu pemimpin, pemelihara, junjungan alam).
Sebutan “junjungan alam” harus diubah; ia bisa diganti dengan kalimat: rahmat bagi seluruh alam. Karena ada ayat yang berbunyi: “Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamiin” [tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam].
[4]. Ada yang membaca: “Shallu wa sallim ‘ala Muhammad” (sentosa dan keselamatan semoga bagi Muhammad).
Koreksi: Sebaiknya kalimat di atas diperbaiki dengan melibatkan Asma Allah di dalamnya, sehingga menjadi: “Allahumma shalli wa sallim ‘ala Nabiyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbih”
(semoga Allah memberi sentosa dan selamat kepada Nabi Muhammad,
keluarga, Shahabatnya). Dalilnya, para ulama kalau membaca Shalawat
untuk Nabi mereka sering mengucap: Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Disini selalu melibatkan Asma Allah, karena doa shalawat memang dipanjatkan kepada-Nya.
[5]. Ada juga yang membaca: “Allahumma shalli ‘ala sayyidina, wa syafi’ina, wa habibina, wa karimina, Muhammad, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in”
(ya Allah berikan sentosa kepada pemimpin kami, penolong kami, kekasih
kami, orang yang mulia kami, yaitu Muhammad, beserta keluarga dan para
shahabatnya).
Koreksi: Sebutan Sayyidina masih ada perdebatan, sehingga tidak perlu dibahas disini. Sebutan Syafi’ina
(pemberi syafaat bagi kami), ini tidak tepat; sebab hakikat pemberi
Syafaat adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalilnya dalam Ayat Kursyi: “Man dzalladzi yasy-fa’u ‘indahu illa bi idznih”
(dan siapa lagi yang bisa memberi syafa’at di sisi-Nya, jika tanpa
izin-Nya). Jadi pemberi syafaat bagi kaum Muslimin secara hakiki adalah
Allah Ta’ala; kemudian Dia memberikan sebagian hak-Nya dalam hal ini
(pemberian syafaat) kepada Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Sebutan Habibina
(kekasih kami); hal ini menuntut tanggung-jawab. Benarkah kita telah
menjadikan Nabi sebagai kekasih kita? Jika benar, buktikan dengan
komitmen mengikuti Sunnah-nya! Sedangkan sebutan Karimina (orang yang mulia kami), sebenarnya sebutan ini sudah masuk ke dalam istilah Rasulina atau Nabiyyina; karena sebagai Nabi dan Rasul, kita pasti memuliakan beliau.
Lalu cara baca Shalawat yang lebih tepat bagaimana?
Contoh dalam versi bahasa Indonesia: “Shalawat dan salam semoga Allah curahkan kepada Nabi kita, Muhammad, beserta keluarga dan para Shahabatnya.” (Jadi Shalawat itu tetap ditujukan kepada Allah).
Contoh dalam versi bahasa Arab: “Allahumma shalli wa sallim ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.” (Disini kita memakai gelar Rasulullah di depan nama Muhammad; dan doa Shalawat ini tetap ditujukan kepada Allah).
Demikian beberapa koreksi seputar tata-cara membaca Shalawat Nabi
yang berkembang di tengah masyarakat kita.
Bagaimana menurut sahabat...sekedar berbagi ilmu agama.
Semoga kajian sederhana ini
bermanfaat dan bisa diamalkan.
Aamiin Allahumma aamin.
Walhamdulillahi
Rabbil ‘alamiin.