Terhormat dan disegani adalah keinginan banyak orang. Keduanya sangat
identik dengan penguasa. Mungkin karena faktor ini, sehingga banyak
orang berlomba dan melakukan berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan,
tanpa peduli dengan banyaknya pengorbanan materi yang harus dikeluarkan
bahkan ada yang nekat melanggar norma agama, dengan melakukan ritual
tertentu di kuburan atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Terjebak
dalam perbuatan bid'ah atau syirik, demi meraih kursi jabatan. Tidakkah
mereka khawatir akan beban berat yang akan mereka pikul di dunia ini?
Yang lebih berat lagi adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah Azza wa
Jalla! Terlebih meminta jabatan itu sendiri adalah hal terlarang dalam
Islam.
Jika meminta suatu jabatan saja sudah terlarang, lalu bagaimana dengan
orang-orang yang berusaha meraih suatu jabatan dengan cara-cara yang
melanggar norma-norma agama. Semoga Allah Azza wa Jalla memelihara kita
dan seluruh kaum Muslimin dari jebakan-jebakan syaitan yang terus
berusaha menyeret manusia dalam berbagai perbuatan maksiat.
Marilah kita perhatikan penjelasan tentang hadits “Larangan Meminta
Jabatan” tulisan al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dibawah ini, -red
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :
قَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ
بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ
مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا
خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah,
janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan
jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu
(sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh).
Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti
kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan
itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah kemudian kamu
melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan
sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan
kerjakanlah yang lebih baik (darinya)”.
Hadits shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (6622, 6722, 7146,
& 7147) dan Muslim (1652) dan Abu Dâwud (2929 dan 3277 diringkas
hanya dengan sumpah atau bagian kedua dari hadits) dan Tirmidzi (1529)
dan an-Nasâ-i (5384 dan 3782, 3783, 3784 diringkas hanya berkaitan
dengan sumpah atau bagian kedua dari hadits) dan yang selai mereka.
Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini ialah:
Larangan meminta jabatan. Jika larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mulia ini tidak dilanggar, maka akan menghasilkan
kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin yaitu pejabat
itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat. Karena dia akan selalu
mendapat pertolongan dari Rabbul ‘alamin dalam melaksanakan tugasnya.
Bentuk pertolongan dari Allah Azza wa Jalla itu bermacam-macam,
misalnya:
1. Beban yang berat menjadi terasa ringan
2. Hal yang sulit menjadi mudah
3. Kesempitan akan menjadi lapang
4. Teguran, koreksi dan perbaikan dari kesalahan yang dia lakukan,
sehingga dia tetap berada di jalan yang benar dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin tertinggi, wakil,
sebagai menteri, sebagai gubernur dan seterusnya.
Namun, apabila larangan Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini dilanggar, pasti akan menimbulkan bahaya dan beban yang sangat besar
bagi pemimpin dan yang dipimpin.
Perhatikanlah!
Sesungguhnya sabda yang agung ini keluar dari mata air nabawiyyah yang
merupakan salah satu asas kepemimpinan dan kerakyatan, yang semuanya
berujung kepada kemashlahatan bersama.
Kemudian…
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika mensyarahkan (menjelaskan)
hadits ini dalam kitab beliau Fat-hul Bâri’, Syarah Shahîh al-Bukhâri di
bagian Kitâbul Ahkâm, bab ke-5 dan 6 (no: 7146 dan 7147), beliau
mengatakan bahwa zhahir hadits ini bertentangan dengan hadits yang
dikeluarkan oleh Abu Dâwud dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
secara marfû’:
مَنْ طَلَبَ قَضَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ
عَدْلُهُ جَوْرَهُ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جَوْرُهُ عَدْلَهُ
فَلَهُ النَّارُ
Barangsiapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai dia
memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum)
mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barangsiapa
kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka
baginya adalah neraka.
Kemudian al-hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mencoba untuk menjama’
(memadukan) di antara kedua hadits di atas yakni hadits Abdurrahman bin
Samurah Radhiyallahuanhu dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
dengan mengatakan, "Tidak mesti orang yang meminta jabatan sampai
kemudian berhasil meraihnya tidak bisa berlaku adil dengan sebab dia
meminta jabatan...”
Menjama’ (memadukan) adalah salah satu cara untuk menyelesaikan
(permasalahan yang muncul) di antara dua buah hadits yang zahirnya
seakan-akan bertentangan dengan syarat keduanya hadits shahih.
Sehubungan dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang zahirnya
membolehkan meminta jabatan telah dicoba untuk dijama’ dengan hadits
Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu anhu yang zhahirnya melarang
meminta jabatan, apakah keduanya telah shah atau salah satunya dha’if?
Kenyataannya sanad dari Abu Hurairah dha’îf.
Sanadnya demikian:
حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الْعَنْبَرِى حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُوْنُسَ
حَدَّثَنَا مُلاَزِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنِى مُوْسَى بْنُ نَجْدَةَ عَنْ
جَدِّهِ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ أَبُوْ كَثِيْرٍ قَالَ
حَدَّثَنِى أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ- قَالَ : ....
Berkata Imam Abu Dawud (3575), "Telah menceritakan kepada kami al-Abbâs
al ‘Anbariy (dia berkata), 'Telah menceritakan kepada kami Umar bin
Yûnus (dia berkata), 'Telah menceritakan kepada kami Mulâzim bin ‘Amr
(dia berkata), 'Telah menceritakan kepadaku Musa bin Najdah dari
kakeknya yaitu Yazid bin Abdurrahman yaitu Abu Katsir, dia berkata,
'Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersaba: .... ”.
Sanad hadits ini dha’îf karena Musa bin Najdah al-Hanafiy adalah seorang
rawi yang majhûl sebagaimana dikatakan sendiri oleh al-hâfizh di kitab
Taqrîb-nya. Karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ini dha’îf,
maka tidak mungkin bisa dijama’ (dipadukan) dengan hadits Samurah yang
sangat shahih. Walillahil hamd.
Adalagi hadits yang semakna dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
dari jalan Anas bin Mâlik yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dan
Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan lain-lain tetapi juga dha’if sebagaimana
telah diterangkan oleh al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.
Berdasarkan uraian di atas, maka hadits Samurah di atas tetap dalam
keumuman dan kemutlakkannya tentang larangan meminta jabatan.
Imam Tidak Mengangkat Orang yang Meminta Jabatan
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ
قَوْمِي، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ، فَقَالَ: «إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ
سَأَلَهُ، وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْه
Dari Abu Musa Radhiyallahu anhu dia berkata, “Saya masuk menemui Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan dua orang dari kaumku, lalu
salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Jadikanlah (angkatlah)
kami sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullâh!” Kemudian yang seorang
lagi juga meminta hal yang sama. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat sebagai
pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang tamak terhadap
jabatan itu”
Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (2261, 6923, 7149, 7156
& 7157) dan Abu Dâwud (2930, 3579 & 4354) dan an-Nasâ-i (5382)
dan yang lainna.
Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Adalah:
1. Bahwa yang mengangkat seorang sebagai pejabat adalah pemimpin
tertinggi atau orang yang diizinkan dan diwakilkan oleh pemimpin
tertinggi. Bukan orang banyak atau masyarakat yang beramai-ramai memilih
pemimpin.
2. Bahwa pemimpin tidak mengangkat orang seseorang yang meminta jabatan dan tamak akan jabatan dan kekuasaan.
Wabillahit taufiq
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVIII/1435H/2014]