“Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)
walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi,
niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah
telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha
Bijaksana”. (Qs: al-Anfal [8] :63)
Ikhwah Fillah, Saudara ku seiman. Ada mutiara yang paling berharga dalam
hidup ini, yang tak mungkin rasanya mutiara itu akan kita jual
sekalipun dengan dunia dan seisinya. Mutiara itu bernama “iman” betapa
mahalnya iman, imanlah yang telah menghantarkan kita kepada alam
kemuliaan, iman pula yang telah mengajarkan kita tentang arti
persaudaraan dalam islam, yah… dulu kita hidup dalam kegelapan,
kejahiliyahan tidak mengerti dan mengetahui bagaimana rasanya menikmati
hidangan iman ini, sungguh memilukan andaikan bukan karna Allah sayang
kepada kita mungkin kita masih bermusuhan, berpecah belah, tak ada rasa
empati terhadap saudara, iri, dengki, dan segudang sisa-sisa peninggalan
jahiliyah dulu, itu semua karna iman dan islam, kita menjadi satu
ikatan. Suatu hari, ketika selesai perang badar berkecamuk, pertempuran
yang akhirnya di menangkan dari pihak kaum muslimin Abdurrahman bin ‘Auf
menggiring lelaki tampan yang sedang terbelenggu itu, dia
menggelandangnya dengan sangat hati-hati, mereka menggiring kearah
lelaki yang wajahnya sangat mirip dengan tawanan tersebut. Abdurrahman
Bin ‘Auf mengangguk takdzim pada lelaki tersebut, Assalamu’alaikum ya
mush’ab yang baik. Inilah saudaramu, Abu Aziz!” Mushab bin Umair
menjawab salam dan mengganguk dalam-dalam. Abu Aziz sangat lega setelah
menyaksikan pertempuran bersimbah darah pada hari itu yang meruntuhkan
kejayaan kaum qurasy, hingga dia akan di serahkan oleh kaka kandung yang
sangat dia sayang saat-saat di mekkah dulu, kakak yang sudah lama dia
tak berjumpa ada kerinduan di tatapan wajahnya, tapi mush’ab tidak
memandang ke arahnya, dan menundukkan kepalanya “Tahanlah dia” sambil
setengah berbisik kepada Abdurahman “kuatkan ikatanmu, dan eratkan
belenggumu… sesungguhnya dia memiliki seorang ibu yang sangat
menyayanginya Inshaa Allah engkau akan mendapatkan tebusan yang
berharga darinya saudaraku!”
“Apa”? Abu aziz membelalak.” Aku tak
percaya ini! Engkau hai mush’ab, saudaraku sendiri ingin menjualku dan
meminta tebusan dari ibu kita, di mana cintamu pada adik kandung “Hai
Mush’ab”?! Sambil memalingkan wajah ada kaca di mata Mush’ab “Tidak
sesungguhnya engkau bukan saudaraku, dialah saudaraku sambil menepuk ke
pundak Abdurahman bin ‘auf. Itulah persaudaraan atas ikatan darah iman
yang telah allah persatukan hati orang – orang mukmin, dalam ikatan
persaudaraan karna Allah SWT, Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada
di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk”. (Qs:Ali-Imran [3] : 103).
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Qs: Al-Hujurat [49] : 10).
Ikatan persaudaraan di dalam surah
Al-hujurat ini di lukiskan oleh Allah dengan kalimat “Ikhwah”, Mustafa
al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan, kata “Ikhwah” artinya
persaudaraan senasab, ayahnya adalah Islam ibunya adalah iman. mereka
telah di persaudarakan dari rahim yang sama yaitu iman. Kata ini lanjut
al-Maraghi lebih kuat dari kata “Ikhwan” yang bermakna persaudaraan,
dalam arti persahabatan. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir al-Munir
“Seorang Mukmin adalah bersaudara ikhwah dalam dien (Agama), dan di
himpun dalam asal yang satu yakni iman, Allah dalam ayat ini mengunakan
kalimat “innama” yang bermakna “hanyasannya” kata ini menurut kaidah
bahasa arab sering menjadi ‘adat al-Hasr membatasi dan mengususkan, atau
menafikan keberadaan yang lain, jadi makna ayat ini “Tiada persaudaraan
atau tiada ikhwah kecuali dikalangan orang-orang beriman”
Ya, dimensi persaudaraan dalam bingkai
iman adalah suatu keindahan yang tak ternilai harganya, sayangnya
keindahan itu sering tambal sulam, terkadang muncul terkadang lenyap,
padahal Mush’ab bin Umair begitu menikmati persaudaraan ini
sampai-sampai ikatan darahpun berani dia tinggalkan demi panggilan iman
dan nikmatnya hidangan iman itu sendiri, yakni persaudaraan dalam Islam.
Marah, senang, bahagia, susah, bahkan murka adalah bahagian rangkaian
cerita yang tak pernah lepas dari hubungan yang kita jalin selepas aqad
perpindahan alam, dari alam jahiliyah menuju alam Islamiyah. Sering di
satu sisi kita banyak melihat kekurangan-kekurangan saudara kita dalam
setiap kesempatan, tapi apakah kita menyadari betapa banyak pula
kekurangan kita di hadapannya? “Bukankah kita dan dia (saudara) adalah
satu! Hanya kita hinggap di jasad yang berbeda!?” Al mu’minu kaljasadil
wahid (Setiap Mukmin adalah satu tubuh) jadi jika kita masih gemar
mencari-cari kesalahan saudara, pada hakikatnya kita sedang mencari-cari
kesalahan diri sendiri?
Saudaraku seiman, Ukhuwah Islamiyah
adalah hadiah terindah yang Allah berikan untuk orang-orang yang saling
mencintai karna Allah. Betapa indahnya kalau kita ingin lukiskan
persaudaraan yang di pertemukan oleh Rasulullah saw, antara Muhajirin di
Mekah dan kaum Ansor di madinah, saat peristiwa hijrah kaum muslimin
dari mekah ke madinah ada salah seorang sahabat yang memang sama sekali
tak membawa apapun dalam perjalanan hijrahnya, ia tinggalkan seluruh
harta yang dia miliki serta seluruh gaya hidup yang dia jalankan,
rasulullah tau persis gaya hidup dari shahabatnya ini, dialah
Abdurrahman bin ‘auf yang di persaudarakan oleh rasulullah dengan Sa’d
ibnu Ar-Rabi’ seorang Ansor yang kaya raya. Kita hafal kemuliaan dua
orang shahabat Rasulullah ini, yang satu membagi rata segala yang di
miliki dua-duanya, rumah, harta, bahkan istripun akan dia ceraikan salah
satunya, jika memang saudaranya menginginkannya, Subhanallah…!
Jawaban yang mengandung unsur kemuliaan
imannya, “Tidak wahai saudaraku tunjukanlah aku pasar” dengan semangat
‘Izzah yang tinggi Abdurrahman bin ‘auf merengsek masuk pasar madinah
dengan semangat menerjemahkan Qur’an di tengah keramaian pasar, ya
Abdurrahman bin ‘auf memang masuk kedalam pasar dengan tangan kosong,
tapi seluruh isi dadanya di penuhi iman, akalnya di penuhi oleh manhaj
ekonomi Qur’an, dinar dan dirham yang beredar di depan matanya, dia
pikat dengan kejujuran, sifat amanah, kebersihan dari sistem riba, dan
timbangan yang tepat, keadilan transaksi, dan transparansi dalam aqad
jual beli, sebulan kemudian dia mengahadap rasulullah saw, “Ya
rosulullah, Aku telah menikah!”, dengan sungging senyum. Ya, wanita
ansor kini telah mendampinginya, maharnya emas seberat biji qurma,
walimahnya dengan menyembelih domba. Suatu hari abdurahman meletakkan
uang di hadapan sang nabi 40.000 dinar emas,”Semoga Allah yang kau infaq
kan juga yang kau simpan” begitulah bait-bait doa keberkahan untuk
harta Abdurahman dari kekasih Allah.
“Segenggam cinta dalam bingkai iman dan
persaudaraan, telah melahirkan izzah (kemuliaan), kemuliaan melahirkan
keberkahan dalam hidup sahabat rasulullah itu,akan tetapi mari kita
tengok seberapa murni kecintaan kita terhadap saudara kita, seberapa
baik kualitas hubungan kita sebagai seorang mukmin. Penulis menyadari
dan menginsafi diri sendiri, ada banyak lidah yang menggores hati,
sikap yang jahil, janji yang tak amanah, tangan yang jahil, terkadang
hubungan kerja sering sekali menyulut dan merobek tali dan bangunan
ukhuwah ini, antara atasan dan bawahan, sesama rekan kerja, jika
seandainya diri ini mampu keluar dari hubungan kerja tersebut mungkin
hari-hari terasa menyenangkan, tapi ini semua amanah kita hanya mampu
beristigfar, astagfirullahal adzim… ingin rasanya memohon maaf kepada
saudara seiman ribuan kali maaf agar mereka menyadari sesungguhnya
ikatan Iman ini harus senantiasa di jaga. Rasulullah saw, bersabda:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه..
dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, bersabda: “Seorang muslim adalah orang yang Kaum Muslimin
selamat dari lisan dan tangannya”…
Kualitas hubungan seorang mukmin di ukur dari tiga hal, Pertama aku aman bagimu, Kedua aku nyaman bagimu, Ketiga
aku bermanfaat bagimu. Bagaimana saudara kita terlindungi aib dan
kekurangannya dari lisan dan tangan (aman) bagaimana saudara kita merasa
senang bila berjumpa dengan kita (nyaman) dan bagaimana kita mampu
menolong dan memberi serta membantu jika saudara dalam keadaan
membutuhkan kita (bermanfaat). Jika kita mengatakan mencari saudara
sejati hari ini seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami, sangat
sulit…” itu jika yang kau cari saudara yang bisa memberi kepadamu itu
memang sedikit, tetapi jika yang kau cari adalah saudara yang mampu kau
beri… sesungguhnya dia bertebaran di hamparan muka bumi ini”! Rasulullah
bersabda:
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau
diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia
menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Imam malik mensyarah hadist ini, jika
kau memasak masakan, baunya sampai ke hidung tetanggamu (saudaramu)
tetapi rasanya tidak sampai ke mulutnya, Sungguh! itu sudah menyakiti
saudaramu.”
Perkataan Imam Malik memang hanya dalam
bentuk masakan, tetapi kalau kita mentelaah lebih dalam ini hanya
permisalan, artinya silahkan kita melengkapi aksesori hidup kita dengan
perlengkapan apapun, sepanjang yang kita gunakan tidak berlebihan
(isrof) tetapi ingat ada saudara (ikhwah) yang melihat, memang kita
yakin saudara kita tidak akan dengki terhadap apa yang kita miliki, tapi
tidak seluruh ikhwah memiliki iman yang kokoh, terlebih bagi saudara
kita yang telah lama Allah uji dengan kemiskinan! Mungkin dia kuat dan
sanggup menjalani ujian kemiskinan tersebut, di samping dia ada dua mata
lagi yaitu istrinya. Apakah istrinya memang orang yang qonaah
(menerima)?! Ikhwah sekalian mari kita hayati hubungan cinta kita
terhadap saudara kita, jangan kita kedepankan ego kita dengan
ucapan-ucapan jahil “yah… ini kan hasil kerja keras ane” atau “dia ajah
kurang beruntung atau kurang cerdas” atau “ane kan juga rajin infaq sama
sodaqoh jadi boleh dong saya beli apa saja yang saya mau, kan ini uang
saya!” Naudzubillah mindzalik… akhi mereka juga memiliki perasaan ada
kalanya Iman mereka gontai, namun janganlah sikap dan perbuatan kita
menambah Iman mereka menjadi bertambah rapuh, hanya karna hasrat ingin
memiliki segala perbendaharaan bumi. Silahkan ikhwah kita ingin miliki
apa saja, handphone, rumah, motor, mobil, perhiasan, pakaian, dan
lain-lain, sepanjang sesuai kebutuhan dan cukup untuk kebutuhan diri dan
keluarga, tidak untuk berbangga-bangga, tidak untuk berlebih-lebihan,
kita lihat khalifah Umar kurang kaya apa beliau kebun kurma yang di
milikinya ada 128 kebun, belum lagi bisnis propertinya, akan tetapi
tidak nampak kesan memewahkan gaya hidup, karna memang tidak ada
hubungannya antara kekayaan dengan gaya hidup bagi seorang mukmin. akan
tetapi jangan pula kita menjadi hakim setiap melihat kesenangan
saudara, lantas muncul sifat dzon buruk sangka, inipun jauh lebih keji
bagaikan memakan bangkai saudara kita yang sudah mati (Qs: Al hujurat
[49] : 11-12).
Di akhir kalam ini tak ingin rasanya
penulis menjadi hakim dalam amanah persaudaraan ini, penulis hanya ingin
berbagi pengalaman yang kurang baik dari penulis sendiri, agar mampu
menginsafi diri sendiri dan mudah-mudahan mampu menjadi ‘ibrah bagi
ikhwah yang saya cintai karna allah…
Ana akhukhum fillah In shaa Allah
kita bersama dalam ikatan Iman ini “Persaudaraan adalah Mukjizat yang
saling berikatan dengan allah. Persatukan hati – hati berserakan saling
baersaudara, saling merendah lagi memahami,saling mencintai, dan saling
berlembut hati” (Sayyid Quthb)
Wallahu ‘alam bishowab
Wasallamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Afwan Jiddan
Oleh : Mudzakkir Al-Haq