“Jejak-jejak kaki seorang mujahid di atas jalan dakwah dan jihad
ini, haruslah seindah dan sekuat tapak kaki di surganya nanti. Walau
fisikal tak merasakannya di dunia, karna waktu telah terwakafkan di
jalannya, tetapi ada sejuta kebahagiaan di setiap kepahitan. Ada ratusan
jejak keberkahan di setiap langkah dakwahnya dan disetiap membangun
sakinah di atas jalan jihad ini”
Ikhwah fillah… Saudaraku di jalan
Allah, pernikahan adalah satu keindahan, kecuali bagi yang beranggapan
bahwa ia adalah beban. Banyak di antara aktivis yang mepersepsi bahwa
menikah mampu menumpulkan akal. Begini gumamnya… menikah memang
suatu sunah, tapi… “nantilah setelah saya menyempurnakah amal jama’i ini
baik itu jihad maupun dakwah”. “Saya ingin seperti amalnya Mushaib bin
Umair yang sudah menjadi duta Islam Rasulullah di Yastrib di usia
mudanya, saya ingin seperti Usamah bin Zaid yang sudah menjadi komandan
Rasulullah di usia yang masih belia”.
Begitulah sepenggal subhat-subhat yang
menghalangi pemuda-pemuda muslim ketika kaki hendak melangkah ke jenjang
pernikahan, di anggap menikah akan menurunkan produktifitas dakwah dan
jihadnya.
Sepintas lalu ungkapan-ungkapan yang
demikian memang seolah menjadi dalil baru dan sangat rasional bagi
seorang ikhwah yang menunda pernikahannya. Tetapi jika kita analisa
lebih mendalam ungkapan ini jelas mengandung persepsi yang sangat buruk
sekali bagi syariat Allah yaitu pernikahan.
Yah, mungkin karna banyaknya
fenomena yang dia saksikan di sekitar lingkungan para aktivis dakwahnya,
yang banyak terhempas ketika ijab qobul terucap dari bibirnya, sedikit
demi sedikit, muntaber alias (mundur tanpa berita) kalaulah kita
mentelaah sejarah lebih lengkap dari yang ungkapkan saudara kita tadi,
tentu kita akan menemukan kesimpulan bahwa di utusnya Mushaib bin Umair
ke Yastrib di usia mudanya itu sudah menikah, dan di angkatnya Usamah
bin Dzaid sebagai komandan perang di usia belianya itupun setelah
menikah, jadi jika ada yang beranggapan bahwa menikah mampu menurunkan
produktifitas dakwah dan jihad ini salah besar, sungguh… ini kesalahan
besar!
Pertemuan Dua Insan di Jalan Allah
“Kita di pertemukan di jalan dakwah,
hidup di jalan dakwah, matipun dalam pangkuan dakwah, maka dakwah ini
harus menjadi sumber sakinah di dalam rumah tangga seorang muslim dan
muslimah”.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata, “Seorang
lelaki dari sahabat Rasulullah melintasi sebuah jalan pegunungan, yang
terdapat mata air kecil yang segar. Mata air itu membuatnya kagum karena
kesegaran airnya. Ia kemudian berbisik (dalam hati), ‘Seandainya
aku memisahkan diri dari manusia, kemudian menetap di jalan gunung ini.
Tapi, aku tidak akan melakukan (itu) hingga aku meminta izin kepada
Rasulullah.’ Ia kemudian menceritakan (peristiwa) itu kepada Rasulullah
SAW. Rasulullah kemudian bersabda, ‘Janganlah engkau melakukan
(perbuatan) itu. (Sebab) sesungguhnya, bertempatnya salah seorang di
antara kalian di jalan Allah, itu lebih baik daripada shalat di rumah
sendiri selama tujuh puluh tahun. Tidakkah kalian ingin agar Allah
mengampuni (dosa-dosa) kalian, dan memasukkan kalian ke dalam surga?
berjuanglah kalian dijalan Allah. Barangsiapa yang berjuang di jalan
Allah seperti cepatnya waktu dan menyingsingkan lengan baju maka wajib
baginya surga’.” Hasan: At-Ta’liq Ar-Raghib (2/174) (Abu Isa berkata, “Hadits ini adalah hasan.”)
Apakah cukup ketenangan jika kita, dengan jalan merahibkan diri di atas gunung, dan memperbanyak ibadah taqorrub
(mendekat kepada Allah) ? Apakah cukup ketenangan saat-saat di mana
kemungkaran merajalela di tengah-tengah kita? Apakah cukup ketenangan
akan sampai kepada kita, hanya sekedar kita memiliki istri yang taat,
yang siap melayani kita siang dan malam?
Anak yang soleh dekat dengan masjid,
dekat dengan ulama, di senangi ibu bapak, di sayangi tetangga? Semua itu
tidaklah cukup akhi! Sebab dakwah adalah satu-satunya jalan yang akan
menentramkan hati kita dan keluarga. Allah tidak pernah memilih-milih
ketika akan menimpakan adzab bagi suatu kaum yang mendiamkan terjadinya
kemungkaran, sementara tangan dan lisan kita masih sanggup mencegahnya.
Dan peliharalah dirimu dari pada
siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara
kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya. (Qs: al anfal (8) :25 )
Tanpa terkecuali orang yang rajin
beribadah saja, pasti akan di timpa kecelakaan, manakala fondasi dakwah
tidak di tegakkan di dalam kehidupan rumah tangganya! Lantas mengapa
pasangan hidup sering menjadi penghalang di jalan dakwah ini?
Tentu tidak seluruhnya, ada banyak para kesatria dakwah semakin menunjukkan kemuliaannya setelah ijab qobul
terucap. Meski terkadang ada kesedihan, kesulitan, kekurangan ekonomi,
kehilangan masa depan, itu semua tidak menyurutkan langkah kakinya untu
menciptakan jejak-jejak sejarah dakwah, agar bahtera ini menjadi indah
pada waktunya. Tidak mungkin ayat Allah ada yang salah bahwa pernikahan
akan memberikan ketenangan.
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs: Ar rum (30) : 21 )
Sakinah (ketenangan) tidak
boleh melenakan, dari tugas dan tanggung jawab dakwah dan jihad.
Janganlah harta, istri, anak kendaraan, perniagaan, rumah yang nyaman
melenakan kita dari melaksanakan tugas suci ini, (lihat Qs: At-Taubah
(9) : 24), sekalipun senyumannya memanjakan hati, tatapannya memberatkan
langkah, tarbiyahlah kecantikan istri kita agar menjadi penyegar di
jalan dakwah ini, bukan menjadi pemagar bagi langkah kaki di jalan
Allah.
Tidak selalu memang, tetapi ini sering
terjadi, sebagaimana bait-bait sya’ir yang di lantunkan saat-saat sang
ayah yang notabennya adalah kekasih Nabi saw, ialah Abu bakar As-Sidiq.
Siapa lagi kalau bukan anaknya Abdurahman bin Abu Bakar saat di suruh
oleh ayahnya untuk menceraikan istrinya karna sang istri sudah
memberatkan langkah kaki Abdurahman, memang tidak ada sebersit keinginan
pun dari atikah istri Abdurahman untuk membuat suaminya menjadi berat
jika ada panggilan jihad dari Nabi.
Pagi itu Abu bakar bertandang ke rumah
Abdurahman ingin melihat secara langsung bagaimana kehidupan rumah
tangga anaknya, bukan hanya mendengar kabar burung yang pernah ia dengar
dari orang lain. Berbicara dari hati ke hati, beliau berbicara sangat
hati-hati. “Wahai anakku,” kata Abu Bakar, “aku perhatikan istrimu telah
membuatmu lupa bagaimana bagaimana cara menguasai akal fikiranmu. Karna
itu aku minta, agar engkau menceraikannya!” “Saya tidak bisa melakukan
hal itu, wahai ayahku!” jawab Abdurahman. Abu Bakar menjawab,
“Menurutlah ceraikan Istrimu!” Abdurahman anak yang salih tidak mungkin
dia abaikan perintah dari ayah yang sholeh dan kekasih Rasul pula,
ketaannya kepada syari’at membawa Abdurahman pada keputusan yang sangat
sulit dan berat, akan tetapi tetap dia laksanakannya juga perintah dari
sang ayah.
Suatu hari Abu Bakar menjenguk anaknya
yang sudah berpisah dengan orang yang sangat dia cintai. Sambil
melantunkan bait-bait syair “Demi Allah, tidaklah aku sanggup
melupakanmu, walau matahari menerbit meninggi, dan tidak berurai air
mata menepati itu, kecuali berbagi hati, tidak pernah kudapatkan orang
sepertiku, menolak orang seperti dia, dan tidaklah orang seperti dia di
talak (cerai) karna dosanya, sedang dia berakhlaq mulia, beragama dan
bernabikan Muhammad, berbudi pekerti tinggi, bersifat pemalu dan halus
tutur katanya”.
Abu Bakar sangat jelas mendengar
rintihan sya’ir anaknya terenyuh batin Abu Bakar sebagai seorang ayah,
dia sadar memang tidak ada dosa apapun yang di perbuat menantunya kepada
anaknya, akan tetapi justru kelembutan pribadi atikah menantunya inilah
yang sering melenakan Abdurahman walau hanya sesaat Abu Bakar tidak
bersedia anak yang disayangnya harus tetelungkup tak berdaya dalam
dakwah dan jihadnya.
Akhir cerita Abu Bakar mengizinkan
Abdurahman untuk rujuk kembali kepada istrinya, dan mulai saat itu
Abdurahman seolah ingin membuktikan bahwa kecintaan kepada Allah dan
Rasulnya adalah di atas segala-galanya, akhirnya dia (Abdurahman) mati
syahid dalam pertempuran di Thai’f , istrinya walau pedih mendengar
berita kematian suaminya, tetapi sangat bangga, imam rumah tangganya
telah menjemput syahid dalam kemuliaannya.
Sakinah dalam Teladannya
Sering penulis saat mengisi di kajian akhwat
(ibu-ibu), suami-suami selalu menitip pesan ke saya, “Ustadz, tolong
dong istri saya di nasehati agar betul-betul mendukung jihad dan dakwah
saya”, sepintas lalu saya berfikir, rasanya sudah terlalu banyak
permintaan serupa dan berujung pada semprotan curhat ibu-ibu tentang
perilaku suaminya saat-saat berada di rumah, ada yang tidak beres
rasanya saat kita menghujani istri-istri dengan hujan ayat dan hadist
tentang ketaatan kepada suami, sementara istri tidak mendapatkan sesatu
yang memang menjadi haq-haq nya, (maaf bukan haq harta ya…) tidak ada memang suami yang tidak menginginkan seorang istri yang shalihat.
Akan tetapi janganlah idealisme yang
menginginkan pendamping hidup yang sholihat, seorang suami memaksakan
kehendak sampai-sampai dia lupa dan jarang memberikan teladan yang baik
bagi keluarganya dan jarang memiliki waktu-waktu khusus untuk
bercengkerama dengan anak dan istrinya, tak ada kelembutan apalagi
kemesraan.
Subhanallah… waktu-waktu di rumah hanya
sisa-sisa penat di luar rumah, betul memang jihad dan dakwah adalah
prioritas utama di atas segalanya, akan tetapi kita tahu bahwa Nabi
adalah seorang komandan perang, pemimpin Negara, seorang hakim, dan juru
dakwah serta murabbi, dengan kesibukan yang super dahsyat, akan tetapi
nabi selalu ada waktu untuk mengajak ‘Aisyah untuk balap lari bersama,
dan bercanda ria dengan anak-anak kecil, bahkan jika ada anak kecil yang
bersedih pun wajah dan raut muka Nabi ikut serta sedih (empati).
Sudahkah kita mencontohnya dalam rumah
tangga kita demi meraih sakinah? Mengerjakan pekerjaan rumah, meminta
maaf jika bersalah, mengajak shalat berjamaah (baik tahajud, maupun wajib)
diam saat istri sedang emosi dan meradang, beriakan reward
(penghargaan) saat istri atau anak melakukan kebaikan. Insya Allah tidak
akan mengurangi wibawa kita sebagai imam dalam rumah tangga, bahkan
jika ada keperluan atau hatta (sampai) sekedar hendak shalat
berjama’ah ke masjid nabipun selalu meminta izin kepada istrinya, jika
sudah seperti ini apakah tidak ada pertentangan?
Ouh, tentu kelembutan istri dan
anak harus senantiasa kita rawat, jangan kita cederai hatinya,
jangankan kita rumah tangga Nabi pun pasti ada saja percekcokan, akan
tetapi tetap menjaga dan mengkontrol kualitas iman kita sebagai juru
dakwah. Sesekali bolehlah kita beri nasihat hangat, katakanlah dengan
lemah lembut, “istriku kita ini di pertemukan di jalan dakwah, apa
pantas jika kita di pertemukan di jalan dakwah ketika dakwah memanggil
kita tinggalkan dakwah begitu saja?”.
Di penutup dari renungan kita mari kita
pancangkan nilai-nilai keteladanan, saya bukanlah yang terbaik dalam
memberikan keteladan, tapi ada baiknya setiap saat kualitas keteladanan
kita di dalam rumah tangga harus senantiasa meningkat.
Mari kita panjatkan do’a yang di ajarkan nabi kita “Ya
Allah, sesungguhnya Engkau maha mengetahui bahwa hati ini telah
berkumpul atas mahabbah kepada-Mu, saling bersua untuk mentaati-Mu,
menyatu dalam seruan dakwah di jalan–Mu, dan mengikat janji setia untuk
membela Syari’at-Mu. Maka kokohkanlah Ya Allah ikatan pertaliannya,
abadikan cinta kasihnya, tunjukanlah jalannya, dan penuhilah dengan nur,
dengan cahayamu yang tak pernah redup. Lapangkanlah dadanya dengan
limpahan iman Terhadap –Mu, dan indahnya tawakal kepada-Mu. Hidupkanlah
dengan mengenal engkau dan matikanlah atas Syahadah di jalan-Mu.
Sesungguhnya engkau sebaik-baik pelindung dan penolong dan berikanlah
shalawatmu atas Muhammad, atas keluarganya, dan sahabat-sahabat nya.
Karunikan bagi kami keselamatan”. Aamiin
Penulis: Mudzakkir Al – Haq