Dedi E Kusmayadi Soerialaga
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa[QS. Al Baqorah 183]
Ayat-ayat tentang puasa dalam
al-Quran adalah surat al-Baqoroh dari ayat 183 hingga 187. Berikut ini
akan disebutkan penjelasan dari tiap-tiap ayat tersebut.
AYAT KE-183 SURAT AL-BAQARAH
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa (Q.S al-Baqoroh:183).
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang:
1. Sikap terhadap seruan : Wahai orang-orang yang beriman….
2. Definisi puasa
3. Puasa telah diwajibkan pula pada umat sebelum kita
4. Tujuan puasa untuk mencapai ketakwaan
PENJELASAN:
Sikap terhadap Seruan : “Wahai Orang-orang yang Beriman….”
Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata:
إِذَا
سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: ” يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ”
فَأَرْعِهَا سَمْعَكَ فَإِنَّهُ خَيْرٌ يَأْمُرُهُ، أَوْ شَرٌّ يَنْهَى
عَنْهُ
“Jika engkau mendengar Allah berfirman: Wahai orang-orang yang
beriman, maka pasang pendengaran baik-baik karena padanya (pasti
terdapat) kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang akan dilarang”
(riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul
Awliyaa’)
Setiap perintah dalam al-Quran pasti mengandung kebaikan, kemaslahatan,
keberuntungan, manfaat, keindahan, keberkahan. Sedangkan setiap larangan
dalam al-Quran pasti mengandung kerugian, kebinasaan, kehancuran,
keburukan (disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir (1/200)).
Definisi Puasa
Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan kepada kalian as-Shiyaam (puasa)
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan kewajiban puasa bagi
orang-orang beriman umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.
Nanti dalam ayat-ayat berikutnya akan dijelaskan bahwa kewajiban puasa
itu tidak untuk seluruh waktu, namun hanya pada hari-hari tertentu saja,
yaitu pada bulan Ramadhan.
Puasa (dalam bahasa Arab disebut shiyaam atau shoum) memiliki definisi
secara bahasa dan definisi secara syar’i. Definisi puasa secara bahasa
adalah ‘menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu’. Dalam al-Quran, ada
ayat yang menunjukkan penggunaan definisi puasa secara bahasa. Yaitu,
perintah Allah kepada Maryam (ibunda Nabi Isa):
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
…sesungguhnya aku bernadzar puasa untuk arRahman (Allah) sehingga aku
tidak akan berbicara pada hari ini dengan manusia manapun (Q.S
Maryam:26)
Dalam ayat tersebut, Maryam bernadzar untuk puasa, namun dalam definisi
secara bahasa, yaitu ‘menahan diri untuk tidak berbicara’.
Sedangkan definisi puasa secara syar’i adalah:
Beribadah kepada Allah disertai dengan niat dalam bentuk menahan diri
dari segala hal yang membatalkan puasa dari sejak terbit fajar shadiq
hingga terbenamnya matahari (asy-Syarhul Mumti’ ala Zaadil Mustaqni’
(6/298)).
Puasa Telah Diwajibkan pula Pada Umat Sebelum Kita
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfiman:
…كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ…
…sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kalian…(Q.S al-Baqoroh:183)
Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa puasa adalah amalan yang
diwajibkan tidak hanya bagi kaum muslimin umat Nabi Muhammad saja, namun
juga pada umat sebelum kita.
Tidak didapati dalam hadits yang shahih tentang bagaimana tata cara
berpuasa umat sebelum kita. Terdapat beberapa hadits, namun lemah.
Seperti hadits Daghfal bin Handzhalah diriwayatkan atThobarony dan
lainnya yang menyebutkan bahwa awalnya kaum Nashrani berpuasa Ramadhan,
kemudian ada raja-raja mereka yang sakit dan bernadzar jika Allah beri
kesembuhan akan menambah jumlah hari puasanya. Demikian berlangsung
hingga kemudian jumlah hari puasa mereka menjadi 50 hari. Namun hadits
tersebut lemah karena Daghfal bin Handzhalah bukanlah Sahabat Nabi
menurut Imam Ahmad dan al-Bukhari, sehingga hadits tersebut masuk
kategori mursal, terputus mata rantai periwayatannya.
Namun, pernyataan Allah bahwa puasa juga telah diwajibkan atas umat terdahulu memberikan manfaat penting:
1. Penambah semangat bagi kaum mukminin umat Nabi Muhammad, membuat
mereka merasa ringan mengerjakan puasa. Karena pewajiban puasa tidak
hanya khusus bagi mereka, namun juga umat sebelumnya. Sehingga umat Nabi
Muhammad tidak akan berkata: Sungguh berat puasa ini, hanya kami yang
dibebani dengan kewajiban ini.
2. Ibadah puasa adalah ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Karena itu, Allah telah mensyariatkannya sejak dulu kala.
3. Pensyariatan puasa pada umat ini adalah yang terakhir kali, sebagai penyempurna terhadap syariat-syariat sebelumnya.
Tujuan Utama Puasa untuk Mencapai Ketakwaan
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfiman:
…لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
…agar kalian bertakwa (Q.S al-Baqoroh:183)
Ayat ini menunjukkan tujuan berpuasa adalah agar tercapai ketakwaan.
Ibadah puasa yang dikerjakan dengan sebenarnya akan menghantarkan
seseorang pada ketakwaan. Sedangkan ketakwaan adalah penghantar
seseorang mendapatkan kesuksesan/ keberhasilan yang hakiki
…وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
… dan bertakwalah kepada Allah agar kalian sukses/ berhasil (Q.S alBaqoroh:189, Ali Imran:130, Ali Imran:200).
Maka tujuan inti dan utama dari berpuasa adalah untuk mencapai
ketakwaan. Sedangkan manfaat lain yang akan dirasakan, seperti manfaat
secara fisik terhadap tubuh, atau manfaat bagi kehidupan bermasyarakat,
itu adalah efek tambahan yang mengikuti (disarikan dari penjelasan
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam tafsir surat alBaqoroh).
Ayat ke-184 Surat al-Baqoroh
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(pada) hari-hari yang tertentu. Barangsiapa yang sakit atau safar,
maka mengganti di hari lain. Bagi orang yang mampu, maka ia membayar
fidyah memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan (membayar kelebihan), maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
PENJELASAN:
Jika Allah menyatakan dalam ayat sebelumnya bahwa diwajibkan berpuasa
bagi orang yang beriman, pada ayat ini dinyatakan bahwa pelaksanaan
puasa yang diwajibkan itu bukanlah pada semua hari sepanjang tahun.
Namun, hanya pada hari-hari yang ditentukan saja. Allah menyatakan:
“(pada) hari-hari yang tertentu”.
Dalam ayat ini Allah juga menjelaskan bahwa tidak semua pihak mendapat
kewajiban berpuasa di hari-hari tertentu itu. Bagi yang sedang sakit
sehingga tidak bisa berpuasa atau sedang dalam perjalanan (safar), ia
bisa mengganti di hari-hari lain selama tidak terlarang berpuasa di hari
itu.
Allah menyatakan: …Barangsiapa yang sakit atau safar, maka mengganti di hari lain…
Ada beberapa kalimat dalam ayat ini yang telah dihapuskan hukumnya, yaitu:
Bagi orang yang mampu, maka ia membayar fidyah memberi makan orang
miskin. Barangsiapa yang membayar dengan kelebihan, maka itulah yang
lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Dulu, salah satu tahapan pewajiban berpuasa, setiap muslim diberi
pilihan. Barangsiapa yang mau bisa berpuasa. Barangsiapa yang tidak
berpuasa, bisa membayar fidyah. Jadi, dulunya tidak semua muslim
langsung diwajibkan berpuasa.
Allah menyatakan dalam ayat ini, bahwa barangsiapa yang mampu berpuasa
namun tidak memilih berpuasa, silakan membayar fidyah (memberi makan
orang miskin). Namun, jika ia memilih berpuasa, itu lebih baik.
Membayar fidyah (memberi makan) bisa dalam bentuk siap saji (matang)
seperti yang dilakukan oleh Anas bin Malik ketika sudah tua, bisa juga
dalam bentuk makanan yang belum matang (bahan mentah makanan pokok),
ukurannya setengah sha’, sesuai hadits Nabi dari Ka’ab bin Ujroh:
لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفَ صَاعٍ
…setiap orang miskin (diberi) setengah sho’ (H.R alBukhari no 1688
pada bab al-Ith’aam fil fidyah nishfu sho’ dan Muslim no 2080)
Ukuran setengah sho’ adalah setara dengan kurang lebih 1,5 kg (beras) per hari tidak berpuasa.
Membayar lebih banyak dari ukuran yang ditetapkan itu adalah lebih baik, sebagaimana dinyatakan Allah dalam ayat ini :
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
Barangsiapa yang membayar dengan kelebihan, maka itu adalah lebih baik baginya….
Misalkan, semestinya tanggungan seseorang adalah memberikan 1,5 kg per
hari puasa yang ditinggalkan, namun dengan kerelaan hati ia lebihkan. Ia
memberikan 3 kg per hari puasa yang ditinggalkan, maka ia termasuk
mendapatkan pujian yang disebutkan dalam ayat ini.
Pensyariatan pembayaran fidyah masih terus berlaku bagi yang tidak mampu berpuasa dalam kondisi:
1. Tua renta, tidak mampu lagi berpuasa.
2. Sakit parah yang tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya.
3. Hamil atau menyusui, jika mengkhawatirkan keadaan janin atau bayinya.
Pendapat ini diriwayatkan dari beberapa Sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas
dan Ibnu Umar (lihat ad-Durrul Mantsur karya al-Imam as-Suyuthy)
……Insya allah bersambung