Kata "hadiah dan hidayah"
tentu tidak asing lagi bagi kita, tetapi barangkali, tidak banyak yang
mengetahui lebih dalam makna batin (inward) dan hubungan antara
keduanya.
Pada hakikatnya, kata hadiah dan hidayah
adalah bersumber dari akar kata yang sama, yaitu hadā-yahdī dan
ahdā-yuhdī. Hadiah dan hidayah tentu tidak terlepas dari dua pemeran,
yaitu penerima dan pemberi. Kedua pemeran ini tidak dapat dipisahkan
satu sama lain.
Sehubungan dengan itu pula bahwa kata yang mengisyaratkan makna menunjukkan dan petunjuk seringkali ditemui di dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan hadiah sekaligus
hidayah (petunjuk) bagi manusia. Baik itu petunjuk untuk
generasi-generasi terdahulu, sekarang maupun yang akan datang. Al-Qur’an
diberikan kepada agama yang istimewa. Dijelaskan tadi bahwa al-Qur’an
adalah petunjuk, ini bermaksud bahwa Allah melalui perantara al-Qur’an
menunjukkan kepada manusia mengenai informasi-informasi yang terjadi
pada generasi-generasi terdahulu dan yang akan datang, untuk diambil
teladan yang baik dan tinggalkan perkara yang tidak baik. Al-Qur’an
menunjukkan dan menjelaskan bahwa orang yang mentaati perintah Allah
berhak mendapatkan ganjaran dan sekaligus ia juga memberikan peringatan
bagi orang yang tidak mengindahkan larangan-Nya. Al-Qur’an telah
membedakan antara yang haq dan yang batil, halal dan haram, baik dan
yang buruk. Tentu hal tersebut menjelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui
kemaslahatan dan kemudoratan bagi hamba-hambaNya.
Namun manusia, mereka dituntut untuk
mengenal Allah Subhanahu wata’ala. Itu sebabnya mengapa firman Allah di
dalam Hadith qudsi menyatakan:
كنت كنزا مخفيا فأحببت أن أعرف فخلقت الخلق لكي أعرف
[Aku adalah harta-karun yang tersembunyi, dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluq supaya aku dapat dikenal].
Dari sini dapat difahami bahwa “kenal”
dan “tahu” tidaklah sama, kedua kata tersebut mempunyai perbedaan yang
sangat jauh. Sebab, tahu belum tentu kenal, tetapi kenal sudah pasti
tahu.
Beralih ke hadiah dan hidayah,
disebabkan kedua kata tersebut bersumber dari akar kata yang sama, dan
maknanya pun tidak jauh berbeda, maka penerima hadiah dikategorikan
sebagai orang yang istimewa.
Hadiah pada umumnya diberikan kepada
orang yang dikenal, tidak mungkin ia diberikan kepada sembarangan orang.
Walaupun ada juga sebaliknya, tetapi kemungkinan sangat kecil. Oleh
karena antara dua pemeran utama, yaitu si penerima dan pemberi, sudah
saling kenal-mengenal secara emosional, tetapi barangkali tidak banyak
yang mengetahui apa maksud yang tersirat di balik itu.
Pada dasarnya, makna yang terkandung di
dalamnya mengisyaratkan bahwa seakan-akan si pemberi hadiah memberikan
petunjuk melalui perantara hadiah yang ia beri. Petunjuk yang tersirat
di balik apa yang ia beri tadi adalah mudah-mudahan hadiah tersebut
dapat mempererat lagi tali silaturahim antara keduanya serta semakin
bertambah rasa kasih sayang dan keakraban. Hadiah dapat memberikan kesan
bagi sang penerima, yang boleh jadi dapat mengobati rasa sedih menjadi
bahagia, malas menjadi giat dan lain sebagainya.
Mengenal
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas
tadi bahwa orang yang diberikan hadiah adalah orang yang istimewa.
Antara yang diberi dan yang memberi mempunyai hubungan emosional yang
sangat erat. Bahkan jarang terjadi, orang yang diberikan hadiah yang
istimewa atau yang spesial adalah orang yang tidak dikenal. Oleh sebab
itu, apabila seseorang ingin diberikan hadiah, hal yang terlebih dahulu
harus ia lakukan adalah mengenali diri sang pemberi hadiah. Mengenali
karakternya; apa yang ia sukai dan apa yang tidak. Dengan mengenalinya
lebih dalam, dapat menimbulkan rasa simpati bagi si pemberi. Sehingga
hal tersebut dapat membuat si pemberi hadiah tidak segan-segan
menghadiahkan sesuatu atau kejutan yang layak kepadanya.
Kendati demikian, filosofi hadiah tidak
jauh berbeda dengan hidayah. Kalaulah hadiah tadi diberikan dari orang
yang benar-benar mengenali diri sang penerima, demikian pun juga
hidayah.
Hidayah akan diberikan kepada orang yang
istimewa dan pilihan. Hidayah diberikan kepada orang yang benar-benar
mengenali Sang Pencipta. Sang Pencipta yang dimaksudkan di sini adalah
Allah Subhanahu wata’ala.
Hidayah akan diberikan kepada orang yang
benar-benar mengenali-Nya, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Subhanahu
wata’ala, serta mengenali perkara yang wajar dan tidak wajar
dinisbatkan kepada-Nya.
Dalam keadaan seperti itu, Allah tidak
akan segan-segan menghadiahkan hidayah-Nya kepada orang yang betul-betul
kenal akan diri-Nya. Ketika hidayah diberikan, hidup seseorang akan
menjadi tenang dan bahagia, berbeda dari apa yang pernah ia lakukan
sebelumnya. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa hidayah
mustahil dihadiahkan secara gratis kepada orang yang tidak
mengenali-Nya.
Disamping itu pula, hidayah tidak akan
dapat ditempuh kecuali atas dasar atau jalan kebenaran. Sedangkan
kebenaran tidak mungkin bisa dicapai apabila diawali dengan keraguan (doubt). Terlebih lagi, jalan menempuh kebenaran melalui keraguan sangat bertentangan dengan worldview (pandangan hidup) Islam. Islam berbeda dengan faham keraguan Descartes (1596-1650) serta weltanschauung
Barat yang rasionalis dan sekularis yang mengangkat keraguan kepada
tataran sebuah metode epistemologis. Metode keraguan ini bagi mereka
sangat berguna untuk mencapai atau mengantarkan kepada sebuah kebenaran.
Tentu saja, bagi Muslim, metode tersebut tidak dapat diterima dan
dibuktikan sama sekali.
Nabi Ibrahim As misalnya, ketika meminta
kepada Allah untuk menghidupkan yang mati, ini bukan berarti beliau
mengalami keraguan, apalagi ketidakyakinan dalam diri, namun pembuktian
tersebut tiada lain hanya untuk lebih meningkat lagi pengetahuan beliau,
yang pada akhirnya lebih memantapkan hatinya (lihat QS al-Baqarah [2]:
260).
Keraguan (doubt) sebenarnya
adalah kondisi pada dua hal yang berlawanan tanpa adanya kecenderungan
hati terhadap salah satunya. Apabila hati cenderung kepada salah satu
tetapi tidak menuju kepada yang lain, padahal ia masih belum menolak
yang lain, maka hal yang demikian itu dinamakan dengan dugaan (conjecture).
Penolakan hati terhadap yang lain ini menandakan bahwa bukan keraguan
yang dapat membawa kepada kebenaran, tetapi pengakuan positif dari
kesalahannya dan kepalsuannya.
Inilah yang disebut dengan hidayah (guidance).
Keraguan, apakah itu bersifat pasti ataupun sementara, mengantarkan
kepada dugaan ataupun kepada perkara lain dari ketidakpastian,
sebenarnya tidak pernah sampai kepada kebenaran (Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam,
1995, 117). Hal yang demikian telah ditegaskan oleh Allah di dalam
al-Qur’an bahwa dugaan atau prasangka tidak bermanfaat sedikitpun untuk
mencapai kebenaran (QS Yunus [10]: 36).
Dari filosofi kedua makna yang tersirat
di balik hadiah dan hidayah tadi, sudah seyogyanya bahwa siapa pun yang
ingin menerima hadiah maupun hidayah, hal yang terlebih dahulu seseorang
lakukan adalah “kenal”, yaitu kenali diri si pemberi. Sehingga dengan
mengenali diri si pemberi, akan membuat diri seseorang merasa pantas
untuk dihadiahi bingkisan berharga yang tak ternilai.
Begitu juga dengan kebenaran atau
hidayah, jalan menujunya hendaknya diiringi dengan ketulusan dan
keyakinan di dalam hati. Bagi Islam, kebenaran tidak mungkin diawali
dengan keraguan, karena kebenaran bukan merupakan sesuatu yang relatif,
tetapi ia bersifat konstan ditengah-tengah kedinamisan hidup yang selalu
bergerak.
Wallahua’lam bissowab. (hidayatullah)