Ucapan lisan adalah mengucapkan
syahadatain dan
pengakuan terhadap konsekuensi-konsekuensinya. Adapun perbuatan anggota
badan, maka ia adalah perbuatan yang tidak terlaksana kecuali
dengannya, seperti Shalat, Haji, Jihad, amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Adapun ucapan lisan, maka ia merupakan
perkara yang harus, ia adalah dasar bagi keberadaan sifat Iman –secara
lahir– dan ulama Salaf telah menegaskan masalah ini. Berikut ini Abu
Tsaur[1] menetapkan pentingnya pengakuan lisan, dia berkata, “Tidak ada
perselisihan di kalangan ulama tentang seorang laki-laki seandainya dia
berkata, ‘Aku bersaksi bahwa Allah adalah Esa, bahwa apa yang dibawa
para rasul adalah benar’ dan laki-laki ini mengakui seluruh syariat,
kemudian dia berkata, Hatiku tidak meyakini dan tidak membenarkan apa
pun darinya’, bahwa dia bukan Muslim. Seandainya dia berkata, ‘Al-Masih
Azza Wajalla adalah Allah’ dan dia mengingkari Islam, dan dia berkata,
‘Hatiku tidak meyakini sesuatu apa pun darinya’ bahwa dia adalah kafir
berdasarkan apa yang ditampakkannya tersebut dan bukan Mukmin, dan
(sebaliknya) dengan pembenaran tanpa diiringi pengakuan juga dia tidak
menjadi Mukmin, sehingga dia membenarkannya dengan hatinya dan mengakuin
dengan lisannya.”[2]
Ibnu Hazm[3] menegaskan pentingnya
ucapan lisan ini, dia berkata, “Barangsiapa yang meyakini Iman dengan
hatinya dan dia tidak mengucapkannya dengan lisannya tanpa taqiyah, maka dia kafir disisi Allah Ta’ala dan di kalangan kaum Muslimin.”[4]
Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang
tidak membenarkan dengan lisannya pada hal dia mampu, maka dalam kamus
orang-orang Mukmin dia bukan Mukmi, sebagaimana hal tersebut disepakati
oleh Salaf umat dari kalangan sahabat dan tabi’in.”[5]
Masih kata Ibnu
Taimiyah, “Barangsiapa yang membenarkan dengan hatinya dan tidak
mengucapkan dengan lisannya, maka tidak sedikit pun hukum-hukum Iman
disandangkan kepadanya, tidak di dunia dan tidak di akhirat.”[6]
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan
perkiraan yang tidak mungkin, dia berkata, “Begitu pula jika dikatakan,
seorang laki-laki bersaksi bahwa Muhammmad adalah Rasulullah, lahir dan
batin dan hal itu telah diminta darinya tanpa ada rasa takut dan harapan
yang mengalangi karenanya, tetapi dia menolak sehingga dia terbunuh,
maka tidak mungkin dia secara batin dia bersaksi bahwa Muhammad adalah
Rasulullah. Oleh karena itu ucapan lahir termasuk Iman, dimana tidak ada
keselamatan bagi seorang hamba kecuali dengannya menurut mayoritas
Salaf dan Khalaf dari kalangan orang-orang terdahulu dan yang hadir
berikutnya, kecuali Jahmiyah.”[7]
Yang dimaksud dengan ucapan lisan yang
merupakan iman secara batin dan hakiki, adalah yang mengiringi keyakinan
hati dan pembenaranya, karena jika tidak, maka sekedar ucapan tanpa
keyakinan, Iman bukan merupakan Iman berdasarkan kesepakatan kaum
Muslimin.[8]
Iman adalah perbuatan anggota badan,
sebagaimana makhluk wajib membenarkan para rasul alaihissalam dalam apa
mereka beritakan. Mereka juga harus menaati mereka dalam apa yang mereka
perintahkan, Iman kepada rasul tidak terwujud dengan mendurhakainya
sama sekali. Firman Allah,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa : 64).
Perbuatan-perbuatan anggota badan menginduk kepada perbuatan-perbuatan hati dan tuntutannya. Jika hati berisi ma’rifat dan iradat
(keinginan), maka hal tersebut mengalir ke badan secara otomatis, tidak
mungkin badan menolak apa yang diinginkan oleh hati. Oleh karena itu
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits shahih,
“Ketahuilah, bahwa di dalam jasad
terdapat seongkok dagimg, jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, jika
ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad, ketahuilah, bahwa ia adalah
hati.”[9]
Jika hati shahih dengan Iman yang ada
padanya ilmu dan perbuatan hati, maka secara otomatis ia mengakibatkan
kebaikkan jasad, dengan ucapan lahir dan mengamalkan Iman yang mutlak,
sebagaimana dikatakan oleh para imam hadits, “ucapan dan perbuatan”,
“ucapan batin dan zahir”, “perbuatan batin dan zahir” . Yang lahir
mengikutin batin dan merupakan konsekuensi darinya, jika batinnya baik,
baik pula lahir, jika rusak, maka ia menjadi rusak.[10]
Di samping itu tidak adanya
perbuatan-perbuatan lahir akan menafikan Iman batin, oleh karena itu
Allah menafikan Iman dari orang-orang di mana tuntutan Iman tidak
terwujud pada mereka, karena tidak adanya tuntutan menunjukkan tidak
adanya yang menuntut seperti firman Allah,
وَلَوۡ كَانُواْ يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلنَّبِيِّ وَمَآ أُنزِلَ
إِلَيۡهِ مَا ٱتَّخَذُوهُمۡ أَوۡلِيَآءَ وَلَٰكِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُمۡ
فَٰسِقُونَ
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada
apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan
mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Ma’idah: 81).
Firman Allah,
لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang
beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22),
Dan ayat-ayat yang senada.
Maka zahir dan batin saling berkait,
yang zahir tidak menjadi lurus kecuali dengan lurusnya batin, jika batin
lurus maka batin pasti lurus.[11]
Penjelasannya: jika Iman batin yang ada
di dalam hati terwujud, niscaya secara otomatis ia berpengaruh pada yang
zahir, tidak mungkin salah satunya terpisah dari yang lain, keinginan
yang kuat untuk berbuat ditambah kemampuan yang sempurna membawa kepada
terwujudnya apa yang mungkin terwujud. Jika cinta kepada Allah dan
RasulNya terpatri di dalam hati, maka ia menutup sikap loyal (wala’) kepada wali-waliNya dan anti (bara’) terhadap musuh-musuhNya.[12]
Dari sini, tidak mungkin seseorang
beriman kepada Allah Ta’ala, mengakui kewajiban-kewajiban, tetapi pada
saat yang sama dia meninggalkan ketaatan-ketaatan tersebut dan menolak
melaksanakannya. Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak mungkin seseorang beriman
dengan Iman yang kokoh di dalam hatinya bahwa Allah mewajibkan Shalat,
Zakat, Puasa, Haji, lalu dia hidup sepanjang hayat tanpa pernah bersujud
sekalipun kepada Allah, tidak puasa Ramadhan, tidak menunaikan Zakat
karena Allah dan tidak berHaji ke Ka’bahNya. Ini tidak mungkin, ini
tidak akan terjadi kecuali karena kemunafikan dan kezindikan di dalam
hati,[13] tidak bersama dengan Iman yang shahih. Oleh karena itu Allah
mencap orang-orang kafir karena penolakan bersujud, dengan firmanNya,
يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٖ وَيُدۡعَوۡنَ
إِلَى ٱلسُّجُودِ فَلَا يَسۡتَطِيعُونَ ٤٢ خَٰشِعَةً أَبۡصَٰرُهُمۡ
تَرۡهَقُهُمۡ ذِلَّةٞۖ وَقَدۡ كَانُواْ يُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ وَهُمۡ
سَٰلِمُونَ ٤٣
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka
dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan)
pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka
dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam: 42-43).[14]
[1] Dia ialah Ibrahim bin Khalid,
seorang imam, al-Hafizh, fakih.Lahir kira-kira tahun 170 H, memiliki
sejumlah karya tulis, wafat tahun 240 H. Lihat: Thabaqat asy-Syafi’iyyah, 2/74; Siyar A’lam an-Nubala’, 12/72.
[2] Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah, al-Lalika’I, 4/849; dan asy-Syifa; 2/542.
[3] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id
azh-Zhahiri al-Andalusi, seorang fakih, al-Hafizh, ahli sastra,
menteri, memiliki banyak karya tulis, lahir di Qurthuba (Cordova) tahun
384, wafat tahun 456 H. Lihat: Siyar A’lam an-Nubala, 18/184; Syadzarat
adz-Dzahab, hal. 3/299.
[4] Al-Muhalla, 1/50, lihat Kitabnya ad-Durrah, hal. 326.
[5] Majmu’ al-Fayawa, 7/337.
[6] Majmu’ al-Fatawa, 7/140. Lihat al-Mi’yar al-Mu’rib, al-Wansyarisi, 2/190.
[7] Majmu’ al-Fatawa, 7/219. Lihat, 7/9.
[8] Lihat Majmu’ al-Fatawa, 7/550.
[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam
kitab al-Iman, Bab fadhl man Istabra’a Lidinihi 1/126, no. 52; dan
Muslim, kitab al-Musaqah, Bab Akhdz al-Halal, 3/1219, no. 1599.
[10] Majmu’ al-Fatawa, 7/187; dan lihat 7/541, 221.
[11] Majmu’ al-Fatawa, 19/282; lihat al-Ashfahaniyah, hal. 142, Ibnu Taimiyah, Tahqiq, Hasanain Muhammad Makhluf.
[12] Majmu’ al-Fatawa, 7/645.
[13] Zindik adalah kata anjam (non Arab)
yang di Arabkan, ia di ambil dari bahasa Persia setelah munculnya
Islam, zindik divoniskan kepada orang majusi, Asteis, munafik dan Jahmi.
Lihat: as-Sab’iniyah, Ibnu Taimiyah, hal. 338; Fath al-Bari, 12/271:
Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 31.
[14] Majmu’ al-Fatawa, 7/187. Dan lihat, 7/541-221.