PKS Sumedang Utara - Kita sudah relatif jauh berjalan. Banyak yang sudah kita lihat dan
yang kita raih. Tapi banyak yang masih kita keluhkan: rintangan yang
menghambat, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh
yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu, dan
tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan
indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret. Dan masih banyak
lagi.
Jadi, mari kita berhenti sejenak disini! Ber’itikaf. Kita
memerlukan saat-saat itu: saat dimana kita membebaskan diri dari
rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual; saat dimana kita
melepaskan sejenak beban kehidupan yang selama ini kita pikul dan
mungkin menguras stamina kita.
Kita memerlukan saat-saat seperti
itu, karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan kita;
melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan
yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah
kita lalui; meneliti rintangan yang mungkin menghambat laju pertumbuhan
kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan
strategis kita telah berubah.
I’tikaf kita butuhkan untuk dua
keperluan. Pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai
perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta
laju pertumbuhannya. Yang ingin dicapai dari upaya ini adalah
memperbarui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan
penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah, peluang
yang disediakan lingkungan eksternal, dan target-target yang dapat kita
raih.
Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru
sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki
jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui komitmen dan janji
setia kita kepada Allah SWT bahwa kita akan tetap tegar menghadapi
semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah
ridha-Nya.
Karena itu, i’tikaf harus menjadi tradisi yang semakin
kita butuhkan ketika perjalanan hidup sudah semakin jauh. Tradisi
i’tikaf ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan; individu atau
jamaah. Pada tingkatan individu, tradisi ini dikukuhkan melalui
kebiasaan merenungi, menghayati, dan menyelami telaga akal kita untuk
menemukan gagasan baru yang kreatif, matang, dan aktual di samping
kebiasaan muhasabah, memperbarui niat, menguatkan kesadaran dan
motivasi, serta memelihara kesinambungan semangat jihad.
Kalau
ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat kekhusyukan yang
disebutkan Al-Qur’an, maka ini salah satunya. Penghentian seperti inilah
yang mewariskan kemampuan berpikir strategis, penghayatan emosional
yang menyatu secara kuat dengan kesadaran dan keterarahan yang
senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam.
Maka, Allah SWT mengatakan, “Belumkah datang saat bagi orang-orang
beriman untuk mengkhusyukan hati dalam mengingat Allah dan dalam
(menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka
tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Al kitab
sebelumnya (dimana) ketika jarak antara mereka (dengan sang rasul) telah
jauh, maka hati-hati mereka jadi keras, dan banyak dari mereka jadi
fasik.” (QS Al Hadid: 16).
Di masa Islam, Allah mensyariatkan
i’tikaf sepuluh hari terakhir pada setiap Bulan Ramadhan. Begini pula
akhirnya kita memahami mengapa majelis-majelis kecil para sahabat
Rasulullah SAW di masjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana
merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka, kata
Ali bin Abi Thalib, adalah dzikir, dan diam mereka adalah perenungan.
Tradisi inilah yang hilang di antara kita, sehingga diam kita berubah
jadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka,
dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan berupa pikiran-pikiran baru
yang matang dan brilian, kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan,
dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang
jauh dan berliku.
=====================
Diambil dari Buku Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) M. Anis Matta - Keajaiban I’tikaf (Menemukan Kesejatian Diri)