Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertakwa” (QS. Al Baqarah [2]: 183).
Demikian pula beberapa ayat setelahnya, Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah mewajibkan puasa atas umat ini sebagaimana yang telah Allah Ta’ala
wajibkan atas umat-umat sebelumnya. Lafadz (كتب) dalam ayat di atas
bermakna (فرض) [diwajibkan]. Puasa diwajibkan atas umat ini dan juga
umat-umat sebelumnya.
Sebagian ulama berkata tentang tafsir ayat di atas, ”Ibadah puasa diwajibkan bagi para Nabi dan bagi umat mereka, sejak Adam hingga akhir zaman”. Allah
SWT menyebutkan yang demikian itu karena sesuatu yang berat untuk
dikerjakan, akan terasa mudah dan lebih menenangkan jiwa manusia jika
dikerjakan oleh banyak orang. Oleh karena itu, puasa diwajibkan atas
seluruh umat manusia, meskipun berbeda tata cara dan waktu
pelaksanaannya.
Sa’id bin Jubair berkata, “Dahulu, puasa yang diwajibkan atas umat
sebelum kami adalah dari waktu ‘atamah (waktu shalat ‘Isya) sampai
malam berikutnya, sebagaimana dalam awal-awal Islam.”
Al-Hasan berkata, “Puasa Ramadhan dulu diwajibkan atas orang-orang
Yahudi. Akan tetapi, mereka meninggalkannya dan berpuasa pada satu hari
dalam setahun dan menyangka bahwa hari itu adalah hari
ditenggelamkannya Fir’aun. Padahal mereka berdusta dalam hal tersebut,
karena hari (ditenggelamkannya Fir’aun) tersebut adalah hari ‘Asyura
(tanggal 9 Dzulhijjah) (sehingga puasa yang mereka lakukan tidak dapat
menggantikan kewajiban puasa yang Allah wajibkan bagi mereka, pen.).
Puasa juga diwajibkan atas umat Nashrani, dan hal ini berlangsung lama.
Sampai suatu ketika, Ramadhan ketika itu bertepatan dengan cuaca yang
sangat terik. Puasa ketika itu menyebabkan mereka mendapatkan kesulitan
saat bepergian atau pun saat mencari nafkah. Akhirnya, para ulama
Nasrani bersepakat untuk mem-paten-kan bulan puasa antara musim dingin
dan musim panas. Pilihan jatuh pada musim semi. Akhirnya, puasa di bulan
Ramadhan dipindah ke musim semi sehingga waktunya paten dan tidak
berpindah-pindah musim. Saat mereka menggeser bulan pelaksanaan puasa
wajibnya, mereka mengatakan, ‘Tambahkan puasa selama sepuluh hari
sebagai kaffarah atau penebus dosa karena telah menggeser bulan puasa’.”
Dan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”agar kamu bertakwa”, maksudnya adalah dengan sebab berpuasa. Puasa menyebabkan ketakwaan karena menundukkan hawa nafsu dan syahwat.
Pada awal-awal Islam, umat Islam boleh memilih antara berpuasa atau membayar fidyah, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 184).
Adanya pilihan tersebut (antara berpuasa atau membayar fidyah) kemudian dihapus dengan mewajibkan puasa itu sendiri dengan adanya firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah [2]: 185).
Hikmahnya adalah adanya tahapan-tahapan dalam perintah syari’at dan
kelemah-lembutan terhadap umat manusia. Ketika mereka belum terbiasa
berpuasa, jika langsung diwajibkan berpuasa dari awal, maka hal itu akan
memberatkan mereka. Oleh karena itu, mereka boleh memilih terlebih
dahulu antara berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian ketika keyakinan
mereka sudah menguat, jiwa-jiwa mereka sudah siap, dan sudah terbiasa
berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa (tidak ada pilihan yang
lain). Demikianlah syariat Islam lainnya yang berat semacam itu, akan disyariatkan secara bertahap (tadarruj).
Akan tetapi yang benar bahwa ayat tersebut (tentang pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu berpuasa. Adapun
bagi orang yang tidak mampu berpuasa, karena tua renta atau sakit yang
tidak diharapkan kesembuhannya, maka ayat tersebut masih berlaku (tidak
dihapus) untuk mereka. Mereka boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi
makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Dan
mereka tidak wajib meng-qodho’ (membayar hutang) puasa.
Adapun selain mereka, maka wajib berpuasa. Barangsiapa yang tidak
berpuasa karena sakit atau bepergian (safar), maka wajib bagi mereka
untuk meng-qodho’ puasa karena firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah [2]: 185).
Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpuasa selama sembilan kali Ramadhan. Sehingga jadilah puasa Ramadhan
sebagai kewajiban dan salah satu rukun Islam. Barangsiapa yang
mengingkari wajibnya puasa Ramadhan, maka dia telah kafir. Barangsiapa
yang tidak berpuasa tanpa udzur, dan dia mengakui kewajiban
puasa, maka dia telah melakukan dosa yang sangat besar dan wajib
mendapatkan hukuman. Wajib pula baginya untuk bertaubat dan meng-qodho’
hari yang ditinggalkan. [1]
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penerjemah:
M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Diterjemahkan dari:
Ittihaaf Ahlil Imaan bi Duruusi Syahri Ramadhan, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daar ‘Ashimah Riyadh KSA, cetakan ke dua, tahun 1422, hal. 128-130.